Assalamu’alaikum wr.wb
Pada kesempatan kali ini saya akan
memperkenalkan tokoh-tokoh perpustakaan yang saya ketahui baik di tingkat dunia
maupun indonesia. Dalam pembuatan ini selain untuk memenuhi tugas dari dosen
saya, saya juga ingin berbagi pengetahuan kepada-teman-teman semuanya. Semoga
bermanfaat.
A. Dalam
tingkat dunia
1.
MELVIL DEWEY
Ketika kita pergi ke perpustakaan besar, kemudian
mencari buku yang diinginkan di katalog komputer. Ternyata setelah dimasukan
judul buku dan pengarangnya ternyata kode bukunya adalah 150.195.FRO.c. Apakah
kita mengerti apa maksud dari nomor-nomor dan huruf-huruf tersebut. Dengan
membawa nomor panggil buku tersebut, kita kembali pada petugas perpustakaan,
yang kemudian membantu hingga menemukan buku yang dibutuhkan.
Sesungguhnya nomor-nomor tersebut adalah nomor
klasifikasi yang digunakan oleh perpustakaan dalam menyusun koleksi buku yang
ada agar buku-buku yang sejenis dapat terkumpul berdekatan, misalnya
berdasarkan bidang ilmunya.
Selain itu, sistem pengklasifikasian tersebut akan
memudahkan dalam pencarian atau pun pengembalian buku. Ada beberapa macam
sistem pengklasifikasian buku yang digunakan di berbagai perpustakaan. Namun,
sistem yang paling banyak digunakan oleh perpustakaan-perpustakaan adalah
sistem klasifikasi Dewey Decimal Classification (DDC). DDC digunakan oleh
perpustakaan di lebih dari 130 negara. Hingga saat ini, DDC telah digunakan lebih
dari satu abad. Hal ini tentu tidak terlepas dari sistem/cara kerja DDC yang
dipandang paling memadai dalam mengakomodasi perkembangan dunia perpustakaan
dan perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Sistem pengklasifikasian buku
DDC ditemukan oleh Melvil Dewey, seorang pustakawan berkebangsaan Amerika
Serikat, yang hidup pada paruh kedua abad ke-19 hingga awal abad 20. Tulisan
ini bermaksud memperkenalkan sosok Melvil Dewey, sang penemu sistem DDC, proses
hingga ditemukannya sistem DDC, dan sekilas tentang cara kerja sistem DDC.
Melvil Dewey lahir pada 1851 di Adams Center, sebuah
kota kecil yang masih menjadi bagian New York. Orang-tuanya memberi nama
Melville Louis Kossuth Dewey. Nama Louis Kossuth diambil dari nama Lajos
Kossuth, seorang pejuang revolusi Hungaria yang pada masa itu sangat terkenal
setelah usahanya pada 1848.
Sejak masih kanak-kanak, Melvil Dewey telah
menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap buku. Ada anekdot yang menceritakan
bahwa dia menyelamatkan banyak buku di perpustakaan pada saat sekolahnya
terbakar pada 1868. Ketika itu, dia terlalu banyak menghirup asap sehingga dia
menderita batuk kronis yang tidak kunjung sembuh. Oleh dokter yang merawatnya,
dia diberitahu bahwa hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Sejak itu, dia menjadi
sangat terobsesi untuk melakukan efisiensi, dilatarbelakangi oleh perasaan
bahwa dia tidak memiliki cukup banyak waktu. Selain sistem DDC, Dewey juga
menciptakaan sistem ejaan yang disederhanakan, dan sistem stenografi.
Temuan-temuannya tersebut mungkin tidak terlepas dari peristiwa kebakaran
tersebut.
Sebelum Dewey menemukan DDC, tidak ada sistem yang
seragam yang dipergunakan oleh perpustakaan-perpustakaan untuk
mengklasifikasikan koleksi buku-bukunya. Masing-masing perpustakaan memiliki
dan mengembangkan sistemnya sendiri-sendiri. Bahkan ada perpustakaan yang
mengelompokkan bukubuku berdasarkan ukurannya, tidak peduli temanya. Penomoran
buku pun dilakukan berdasarkan nomor rak di mana buku disimpan. Misalnya,
buku-buku yang disimpan di rak nomor 100C akan diberi nomor 100C. Jadi, nomor
buku mengacu pada nomor rak. Sistem penomoran semacam ini disebut sistem “fixed
location.” Sistem ini menimbulkan kesulitan yang tidak kecil. Masalahnya adalah
ketika ada penambahan koleksi buku perpustakaan yang sampai menyebabkan
buku-buku yang sudah ada harus digeser ke rak yang lain, maka nomor buku-buku
tersebut pun harus diubah, menyesuaikan dengan nomor raknya yang baru.
Perubahan nomor buku pun akan berdampak pada harus diubahnya kartu katalog
buku-buku tersebut, karena nomor buku yang tercantum dalam katalog pun harus
diubah.
Keadaan seperti itu mendorong Dewey untuk menemukan
suatu sistem pengklasifikasian buku yang baru. Sesungguhnya Dewey tidak
menemukan sistem yang sama sekali baru. Sebelum Dewey menemukan sistemnya,
sudah ada beberapa sistem pengklasifikasian buku. Misalnya, Charles A. Cutter
membuat sistem klasifikasi berdasarkan topik, dan Nathaniel Shurtleff melakukan
penomoran menggunakan sistem desimal. Inovasi yang dilakukan oleh Dewey adalah
menggabungkan sistem pengklasifikasian berdasarkan topik dan penomoran dengan
sistem desimal. Namun, nomor tidak mengacu pada rak, melainkan pada bidang
ilmu.
Inovasi penting dari DDC adalah penomoran DDC tidak
secara langsung merujuk pada lokasi buku. Nomor DDC hanya memberitahu letak
relatif suatu buku di antara buku-buku yang lain. Untuk menemukan sebuah buku,
dibutuhkan informasi tambahan, misalnya denah rak yang menginformasikan di mana
buku-buku dengan nomor-nomor tertentu ditaruh. Hal ini berbeda dengan sistem “fixed
location”, di mana nomor buku sama dengan nomor rak tempat buku tersebut
disimpan. Berkat inovasi dari DDC ini, kita tidak perlu lagi mengalami masalah
yang dihadapi bila menggunakan sistem “fixed location”. Bila perpustakaan
menambah buku yang menyebabkan beberapa buku harus dipindah ke rak yang lain,
maka denah lokasi saja yang perlu diubah, tidak perlu keseluruhan katalog.
Satu kelebihan lain dari sistem DDC adalah memudahkan
untuk ditambahkannya subjek/tema-tema baru. Pada saat pertama kali diterbitkan
pada 1876, manual DDC hanya terdiri dari 44 halaman. Sedangkan dalam Edisi 21
yang diterbitkan pada 1996, manual DDC mencapai tebal lebih dari 4000 halaman.
DDC memungkinkan penambahan subjek baru karena DDC menggunakan sistem desimal.
Dewey mulai dengan membagi jenis-jenis pengetahuan ke dalam kategori-kategori
dasar yang kemudian diberi nomor-nomor utama (main class). Selanjutnya, mudah
untuk membagi kategori-kategori dasar tadi menjadi bidang-bidang yang lebih
mendetail, yang ditandai oleh nomor-nomor di sisi kanan titik desimal. Dengan
sistem seperti ini, DDC dapat mengakomodasi perkembangan pengetahuan sejak masa
Dewey hingga saat ini.
v
CARA KERJA SISTEM DDC
Dewey membagi berbagai disiplin pengetahuan yang ada ke dalam sepuluh kelas utama (main class), dengan satu “Generalities”. Selanjutnya, kelas-kelas utama tersebut dibagi lagi ke dalam sepuluh divisi, dan setiap divisi dibagi lagi ke dalam sepuluh section. Ke-sepuluh kelas utama tersebut adalah:
000 Generalities
100 Philosophy, psychology
200 Religion
300 Social Science (incl. economics).
400 Language
500 Natural Science.
600 Technology (incl. medicine, management).
700 Art (incl. architecture, paintings, photography).
800 Literature
900 History, geography, biography.
Kelas utama 000 digunakan untuk karya-karya yang tidak terbatas pada satu disiplin ilmu saja, misalnya ensiklopedia. Kelas ini juga digunakan untuk bidang yang berhubungan dengan pengetahuan dan informasi, misalnya ilmu komputer, ilmu perpustakaan. Angka pertama pada nomor-nomor tersebut menunjukkan main class. Masing-masing main class terdiri dari 10 divisi, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka yang menunjukkan divisi adalah angka kedua. Misalnya, 600 digunakan untuk buku-buku yang membahas tentang teknologi/ilmu terapan secara umum, 610 untuk ilmu kedokteran, 620 untuk ilmu teknik, 630 untuk pertanian. Masing-masing divisi dibagi lagi menjadi 10 section, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka ketiga dalam nomor DDC menunjukkan section. Misal, 610 – 6 – digunakan untuk karya umum di bidang kedokteran, 611 untuk anatomi manusia, 612 untuk fisiologi manusia, 613 untuk bidang promosi kesehatan.
Selanjutnya, setelah tiga nomor utama tersebut, angka desimal dapat digunakan sejauh diperlukan. Misalnya, 611.1 untuk buku yang membahas tentang organ-organ kardiovaskular, 611.2 untuk buku yang membahas tentang organ-organ
pernafasan.
Dewey membagi berbagai disiplin pengetahuan yang ada ke dalam sepuluh kelas utama (main class), dengan satu “Generalities”. Selanjutnya, kelas-kelas utama tersebut dibagi lagi ke dalam sepuluh divisi, dan setiap divisi dibagi lagi ke dalam sepuluh section. Ke-sepuluh kelas utama tersebut adalah:
000 Generalities
100 Philosophy, psychology
200 Religion
300 Social Science (incl. economics).
400 Language
500 Natural Science.
600 Technology (incl. medicine, management).
700 Art (incl. architecture, paintings, photography).
800 Literature
900 History, geography, biography.
Kelas utama 000 digunakan untuk karya-karya yang tidak terbatas pada satu disiplin ilmu saja, misalnya ensiklopedia. Kelas ini juga digunakan untuk bidang yang berhubungan dengan pengetahuan dan informasi, misalnya ilmu komputer, ilmu perpustakaan. Angka pertama pada nomor-nomor tersebut menunjukkan main class. Masing-masing main class terdiri dari 10 divisi, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka yang menunjukkan divisi adalah angka kedua. Misalnya, 600 digunakan untuk buku-buku yang membahas tentang teknologi/ilmu terapan secara umum, 610 untuk ilmu kedokteran, 620 untuk ilmu teknik, 630 untuk pertanian. Masing-masing divisi dibagi lagi menjadi 10 section, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka ketiga dalam nomor DDC menunjukkan section. Misal, 610 – 6 – digunakan untuk karya umum di bidang kedokteran, 611 untuk anatomi manusia, 612 untuk fisiologi manusia, 613 untuk bidang promosi kesehatan.
Selanjutnya, setelah tiga nomor utama tersebut, angka desimal dapat digunakan sejauh diperlukan. Misalnya, 611.1 untuk buku yang membahas tentang organ-organ kardiovaskular, 611.2 untuk buku yang membahas tentang organ-organ
pernafasan.
Referensi :
Perpustakaan Universitas Maranatha
Dewey, Melvil, 1996, Dewey Decimal Classification and Relative Index.
Wiegand, Wayne A., “The Amherst Method”: The Origins of the Dewey Decimal
Classification Scheme, dalam Libraries & Culture Vol. 33, No. 2, Spring 1998.
Perpustakaan Universitas Maranatha
Dewey, Melvil, 1996, Dewey Decimal Classification and Relative Index.
Wiegand, Wayne A., “The Amherst Method”: The Origins of the Dewey Decimal
Classification Scheme, dalam Libraries & Culture Vol. 33, No. 2, Spring 1998.
Dewey merupakan pelopor kepustakawanan
di Amerika. Karyanya yang paling dikenal adalah Dewey Decimal
Classification (DDC), yang kini digunakan sebagai kelas klasifikasi banyak
perpustakaan. Karya lain dewey adalah ide dan gagasannya untuk menambah tugas
dan fungsi perpustakaan Negara sebagai pembina layanan di perpustakaan sekolah
dan perpustakaan umum. Beliau pula salah satu pelopor pendiri ALA (American’s
Librarian Association) dan memiliki beberapa biro perpustakaan dan
perusahaan swasta sebagai upaya fundrising perpustakaan. Dan karena
karya dan dedikasinya, sebuah karya menyebutnya sebagai Father of Modern
Librarianship.
2.
SHIYALI RAMAMRATA RANGANATHAN
v
Lahir pada tanggal 9 Agustus 1892 di Shiyali, Madras,
India.
v
Bersekolah di Sekolah Tinggi Hindu di Shiyali, di
Madras Christian College (di mana Beliau mengambil gelar BA dan MA dalam
matematika pada tahun 1913 dan 1916), dan di fakultas keguruan, Saidapet.
v
Pada tahun 1917 Beliau bergabung dengan universitas
negeri di Mangalore.
v
Dari tahun 1920 sampai 1923 Beliau kemudian mengajar
di Universitas Negeri Coimbatore, dan di Universitas Madras, pada 1921-1923.
v
Pada tahun 1924 Beliau diangkat sebagai pustakawan
pertama dari Universitas Madras, dan untuk menyesuaikan dengan jabatan, Beliau
pergi ke Inggris untuk belajar di Universitas Negeri di London.
v
Tahun 1925 sampai 1944 Beliau mengambil pekerjaan di
Madras sampai 1944.
v
Tahun 1945-1954 Beliau menjabat sebagai pustakawan dan
sebagai profesor ilmu perpustakaan di Universitas Hindu di Varanasi (Banaras),
dan 1947-1954 Beliau mengajar di Universitas Delhi.
v
Tahun 1954-1957 Beliau terlibat dalam penelitian dan
penulisan di Zürich.
v
Beliau kembali ke India pada tahun terakhir dan
menjabat sebagai profesor tamu di Universitas Vikram, Ujjain, sampai tahun
1959.
v
Pada tahun 1962 Beliau mendirikan dan menjadi kepala
Pusat Dokumentasi dan Penelitian Pelatihan di Bangalore, dan pada 1965 Beliau
diberi penghargaan oleh pemerintah India dengan gelar profesor riset nasional
di ilmu perpustakaan
Prinsip-prinsip SR. Ranganathan dituangkan dalam 5 hukum dari Ilmu Perpustakaan atau Five Laws of Library Science adalah pertama dan, sampai saat ini, satu-satunya definisi yang jelas dari suatu fungsi-fungsi dan tanggung-jawab perpustakaan. Meski dapat dikatakan bahwa Hukum tersebut menuntut perenungan dan pengalaman sebelum menuju kepada kesempurnaan untuk digunakan sebagai petunjuk penting untuk pustakawan-pustakawan dengan potensi yang ada, untuk merencanakan dan menyediakan jasa pelayanan di dalam semua jenis perpustakaan.
Five Laws of Library Science adalah :
1.
Books are
for use, artinya Penekanan pada hukum yang pertama ini adalah bahwa perpustakaan
harus mendapatkan pustaka dan membuat bahan perpustakaan tersebut mudah untuk
digunakan oleh pemustaka , karena prinsip dasar hukum yang pertama ini
mengandung dasar bahwa buku itu ada untuk digunakan.
2.
Every reader
his/her book , artinya Hukum
kedua ini mengungkapkan isu perdebatan yang fundamental antara harga koleksi
dengan kebutuhan dasar pemustaka yang harus bisa mengakses koleksi yang mereka
butuhkan. Hal ini membuat pengadaan menjadi sesuatu yang sangat penting,
pengadaan harus mengakomodir kebutuhan pemustaka.
3.
Every book,
its reader, artinya Hukum ini menekankan pada isu dasar tentang open access atau
layanan terbuka sebuah perpustakaan. Open access artinya bahwa koleksi dapat
diakses dengan bebas oleh pemustaka. Hal ini menunjukkan bahwa seharusnya,
ketika ada pemustaka akan mengakses koleksi tertentu, maka koleksi tersebut
harus pasti dapat ditemukan. Hal ini adalah menjadi tugas pustakawan dalam
menjamin bahwa hubungan antara koleksi dengan pemustaka harus harmonis, dan kecepatan
akses dalam penemuan kembali koleksi di perpstakaan harus dimaksimalkan.
4.
Save the
time of the reader , artinya Kebijakan
harus dirumuskan sesuai dengan kebutuhan pemustaka Jangan sekali kali
membiarkan pemustaka kebingungan dan membutuhkan waktu yang lama dalam
mengakses informasi yang dibutuhkan. Informasi yang dikumpulkan dan diolah
perpustakaan harus disesuaikan dengan tujuan perpustakaan serta harus
disesuaikan dengan lingkungan perguruan tinggi, kebiasaan dan sikap pemakai
serta kebutuhan informasinya.
5.
A library is
a growing organism, artinya Hukum
kelima ini memberitahu kepada kita bahwa yang terpenting dari perpustakaan
adalah bahwa perpustakaan itu selalu tumbuh dan berkembang serta berubah dan
akan selalu mengalami hal seperti itu. Koleksi perpustakaan selalu bertambah
dan berubah, teknologi terus berkembang mau dan budget juga selalu mengikuti
perubahan itu. Perubahan-perubahan yang kompleks tersebut harus diantidipasi
dan diimbangi dengan manajemen yang baik.
3.
DON R.
SWANSON
ia lahir pada
10 Oktober 1924 dan wafat 18 November 2012 adalah
seorang ilmuwan informasi Amerika , yang paling
dikenal karena karyanya dalam penemuan berbasis literatur dalam domain biomedis. Metode
khususnya telah digunakan sebagai model untuk pekerjaan lebih lanjut, dan
sering disebut sebagai Swanson menghubungkan
. Dia adalah seorang penyelidik dalam proyek Arrowsmith System , yang berusaha untuk menentukan hubungan yang
bermakna antara artikel Medline untuk mengidentifikasi
pengetahuan publik yang belum diketahui sebelumnya. Dia telah menjadi profesor emeritus Universitas Chicago sejak
tahun 1996, dan tetap aktif dalam penunjukan setelah pensiun sampai
kesehatannya mulai menurun pada tahun 2009.
Swanson
menerima gelar BS dalam Fisika di Caltech , Pasadena, California
pada tahun 1945, diikuti oleh MA di Rice Institute , Houston, Texas , dua tahun
kemudian, dan kemudian PhD dalam Theoretical Physics dari University of California di
Berkeley pada tahun 1952. Ia bekerja sebagai
seorang fisikawan di berbagai laboratorium sampai 1963, ketika ia diangkat
menjadi profesor dan menjabat sebagai dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perpustakaan di Universitas Chicago hingga
1972 dan kembali dari 1977–79 dan 1987-89.
Swanson secara cemerlang menguraikan interaksi (dialogue)
yang ideal diantara seorang pengguna perpustakaan dengan console,(suatu
jenis terminal yang dapat menemu balikkan berbagai jenis informasi bibliografi,
dan mungkin informasi lainnya). Melalui console, pengguna akan dapat
berdialog dengan pangkalan data, dan melakukan penelusuran informasi. Pengguna
diharapkan akan merasa puas terhadap dialog tersebut, karena informasi
bibliografis yang dibutuhkan dapat diperoleh lebih cepat.
Tedd (1994) menguraikan kronologis perkembangan sistem
OPAC dan automasi perpustakaan, yang disarikan sebagai berikut:
1. Pada tahun
1960-an, komputer telah digunakan di berbagai perpustakaan umum dan perguruan
tinggi untuk membantu membuat katalog. Pada saat itu, pengoperasian sistem komputer
masih berada pada mode atau cara yang sangat bervariasi, sehingga kemungkinan
melakukan penelusuran informasi dengan katalog terpasang (online)
dianggap masih jauh dari kenyataan.
2.
Pertengahan Tahun 1970-an. Pada masa
ini, komputer mulai digunakan untuk proses pengawasan sirkulasi di
perpustakaan. Sistem komputer digunakan untuk tujuan pengumpulan data,
khususnya pencatatan peminjaman. COM (computer output on microfilm)
menjadi metode yang terkenal digunakan untuk menghasilkan katalog. Perkembangan
pada masa ini, juga ditandai dengan munculnya sistem kerjasama pengatalogan dan
pemanfaatan bersama, pada berbagai perpustakaan. Misalnya, di Inggris LASER (London
and South Eastern Library Region), dan di Amerika Utara OCLC (Ohio
College Library Centre). Sistem kerjasama ini menghasilkan cantuman katalog
pada komputer untuk sejumlah perpustakaan yang berpartisipasi, baik dalam
bentuk COM, maupun kartu katalog.
3.
Akhir Tahun 1970-an dan Awal
Tahun 1980-an Pengenalan komputer mikro (microcomputer) di
era ini, mendorong berbagai perpustakaan semakin mandiri untuk menggunakan
fasilitas komputer yang diperoleh dari perusahaan yang dilanggan. Kemandirian
ini mengarah kepada pengembangan dan perancangan sistem sendiri (in-house
system).Penggunaan komputer mikro menjadi terkenal karena menyediakan
fasilitas untuk melakukan akses secara terpasang (online) terhadap
berbagai simpanan (file) dalam sistem sirkulasi. Perkembangan lain yang
terjadi pada masa ini, ialah penyediaan paket perangkat keras (hardware)
dan perangkat lunak (software) atau turnkey sistem untuk
perpustakaan oleh beberapa perusahaan. Sistem tersebut menggabungkan sejumlah
fasilitas, diantaranya fasilitas penelusuran dan sistem sirkulasi. Karena
sistem komputer yang digunakan pada masa itu di perpustakaan mampu menelusur
cantuman bibiliografi secara online, sehingga sistem itu disebut sebagai
sistem OPAC. Munculnya sistem OPAC disejumlah perpustakaan tertentu, merupakan
perkembangan utama yang terjadi dalam automasi perpustakaan sampai awal
tahun1980-an.
4.
Pertengahan Sampai Akhir
Tahun 1980-an. Pada masa ini, perpustakaan yang menggunakan sistem
OPAC semakin meningkat. Pemasok mulai menyediakan sistem yang terintegrasi (integrated
system) untuk manajemen perpustakaan, mencakup modul atau sub-sistem
yang berbeda, seperti pengatalogan, akuisisi, sirkulasi, pengawasan serial,
layanan antar perpustakaan dan juga OPAC. Keuntungan sistem yang terintegrasi
bagi kegiatan penelusuran ialah, sistem memperbolehkan pengguna mengakses modul
OPAC untuk mengetahui status pinjam dari semua bahan perpustakaan yang ada di
perpustakaan tertentu. Pengguna yang sedang mengakses OPAC dimungkinkan bisa
mengetahui status suatu bahan perpustakaan, apakah sedang tersedia atau sedang
dipinjam, siapa peminjamnya, berapa lama dipinjam, kapan dikembalikan dan
sebagainya. Hal ini dapat dilakukan, karena sistem menghubungkan file katalog
dengan file sirkulasi. Sistem OPAC menjadi sangat terkenal selama tahun
1980-an, sehingga banyak perpustakaan mulai meninggalkan katalog kartu dan
beralih ke sistem OPAC.
5.
Pada tahun 1990-an, terlihat perubahan besar pada
sistem manajemen perpustakaan, dengan menawarkan kecenderungan dari sistem
milik sendiri (proprietary systems) bergerak ke arah sistem terbuka.
Sejumlah permasalahan yang ditemui pada pengoperasian sistem di masa sebelumnya
diinventarisir. Ditemukan bahwa sejumlah besar sistem yang ada di perpustakaan
pada tahun 1980-an hanya bisa dijalankan pada perangkat keras (hardware)
tertentu, misalnya sistem seperti DOBIS / LIBIS, Geac, LIBERTAS dan URICA,
hanya dapat dijalankan pada hardware atau perangkat keras buatan suatu
perusahaan tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai upaya dilakukan
oleh pemasok sistem untuk perbaikannya. Pemasok sistem mulai menawarkan produk
sistem baru yang bisa dijalankan pada sejumlah perangkat keras. Arsitektur dari
beberapa sistem yang baru ini, memisahkan perangkat lunak (software)
menjadi client dan server. Perangkat lunak untuk client menyediakan
antarmuka (interface) kepada pengguna, dan biasanya berjalan atau
beroperasi pada PC (personal computer) atau terminal. Perangkat lunak
untuk server menyediakan pengelolaan pangkalan data, dan biasanya dioperasikan
pada komputer lain.
4. JAMES
HADLEY BILLINGTON
Ia
lahir 1 Juni 1929; umur 88 tahun,
Pustakawan Kongres Emeritus, adalah seorang akademisi dan pengarang Amerika
utama yang mengajar sejarah di Harvard dan Princeton sebelum menjabat selama 42 tahun
sebagai CEO dari empat lembaga kebudayaan federal. Ia menjabat sebagai Pustakawan Kongres ke-13 setelah dinominasikan
oleh Presiden Ronald
Reagan pada 1987, dan pelantikannya disetujui tanpa halangan oleh Senat AS. Ia pensiun dari jabatan Pustakawan
pada 30 September 2015.

James Hadley Billington dilantik sebagai Pustakawan Kongres
pada tanggal 14 September 1987. Dia adalah orang ke-13 yang memegang posisi
tersebut sejak Perpustakaan didirikan pada tahun 1800. Billington dinominasikan
oleh Presiden Ronald Reagan, dan pengangkatannya dengan suara bulat disetujui
oleh Senat AS.
Selama 28 tahun masa jabatannya di Library of Congress,
Billington menggandakan ukuran koleksi analog tradisional Perpustakaan, dari
85,5 juta item pada 1987 menjadi lebih dari 160 juta item. Bersamaan dengan itu, ia menciptakan Perpustakaan Online baru
yang besar, dan meluncurkan serangkaian program Perpustakaan inovatif untuk
"mengeluarkan sampanye dari botol" bagi jutaan orang Amerika dan
dunia. Billington memperoleh satu-satunya
salinan dari peta dunia 1507 Waldseemüller ("Akte kelahiran Amerika") pada tahun 2003 untuk
tampilan permanen di Gedung Perpustakaan Thomas Jefferson. Dia merekonstruksi perpustakaan
asli Thomas Jefferson , dan juga menempatkannya di
layar permanen di gedung Jefferson pada tahun 2008 menggunakan dana pribadi.
Dia memperoleh salinan lengkap dari surat-surat
Lafayette yang sebelumnya tidak dapat diakses dari kastil keluarga Lafayette di
LaGrange, Perancis, serta ratusan koleksi lain dari orang Amerika yang hebat
mulai dari Thurgood Marshall hingga Irving Berlin dan Jackie Robinson.
Billington memperbesar dan meningkatkan ruang publik di
Gedung Thomas Jefferson menjadi tempat pameran nasional, menyelenggarakan lebih
dari 100 pameran, banyak yang menampilkan materi yang sebelumnya tidak pernah
ditampilkan secara publik di Amerika. Ini
termasuk pameran berskala besar di Perpustakaan
Vatikan , Bibliothèque
nationale de France , Perang
Sipil , Presiden
Abraham Lincoln , budaya
Afrika-Amerika , Agama
dan Pendirian Republik Amerika , ulang
tahun ke - 800
Magna Carta , dan pencetakan
awal Amerika menampilkan Rubenstein Bay Mazmur Book
. Sumbangan Jay Kislak tentang koleksi indahnya
tentang sejarah dan budaya Amerika
Awal kini ditampilkan secara permanen di gedung
Jefferson. Billington juga mengadvokasi dengan
sukses untuk koneksi bawah tanah antara Perpustakaan dan US Capitol Visitors
Centre pada tahun 2008, yang telah sangat meningkatkan penggunaan kongres dan
tur umum Perpustakaan Kongres.
Billington meluncurkan program deacidification massal pada
tahun 2001, yang telah memperpanjang jangka hidup hampir 4 juta volume dan 12
juta lembaran naskah. Dia membuka modul
penyimpanan koleksi baru di Fort Meade, yang pertama pada tahun 2002, untuk
melestarikan dan membuat dapat diakses lebih dari 4 juta item dari koleksi
analog Perpustakaan. Dia juga mendirikan Komite
Pengawasan Keamanan Koleksi Perpustakaan pada tahun 1992 untuk meningkatkan
perlindungan koleksi, dan juga Perpustakaan Kongres Kongres Kaukus pada tahun
2008 untuk menarik perhatian ke kurator Perpustakaan dan koleksi.
Billington
mengumpulkan setengah miliar dolar dalam bentuk dukungan pribadi dari donor
besar seperti John Kluge, Jay Kislak, dan David Packard untuk melengkapi
anggaran Kongres untuk koleksi Perpustakaan, program, dan jangkauan digital.
Dia menciptakan kantor pengembangan Perpustakaan
pertama untuk penggalangan dana pribadi pada tahun 1987, dan, pada tahun 1990, mendirikan
James
Madison Council , kelompok dukungan donor sektor
swasta nasional pertama di Perpustakaan. Billington
meminta GAO untuk melakukan audit pertama di seluruh perpustakaan pada tahun
1987. Dia kemudian menciptakan sistem manajemen keuangan baru untuk Perpustakaan
dan melembagakan audit keuangan rutin tahunan, yang menghasilkan opini yang
tidak dimodifikasi ("bersih") sejak tahun 1995 dan seterusnya.
Dia juga menciptakan Kantor Inspektur Jenderal pertama
di Perpustakaan pada tahun 1987 untuk memberikan peninjauan independen yang
teratur atas operasi perpustakaan. Billington
adalah anggota lama dewan penasehat editorial Urusan Luar Negeri dan Teologi
Hari Ini, dan anggota Dewan Beasiswa Luar Negeri (1971-1976) —seperti halnya
ketua (1973-1975) —yang memiliki tanggung jawab eksekutif untuk pertukaran
akademik di seluruh dunia di bawah UU Fulbright-Hays. Dia adalah anggota American Philosophical Society, Akademi
Seni dan Ilmu Pengetahuan Amerika dan berada di Dewan John F. Kennedy Center
untuk Seni Pertunjukan.
5. AINSWORTH RAND SPOFFORD (1825-1908)

Sejarah modern Library of Congress
dimulai ketika Ainsworth Rand Spofford menjadi Pustakawan Kongres, karena
Spofford yang mengubah perpustakaan referensi kecil yang melayani Kongres AS
menjadi lembaga nasional yang juga melayani publik Amerika. Spofford secara permanen bergabung dengan fungsi legislatif
dan nasional Perpustakaan, pertama dalam praktek dan kemudian dalam hukum
melalui reorganisasi 1897. Dia memberikan penerusnya sebagai Pustakawan dengan
empat prasyarat penting untuk pengembangan perpustakaan nasional Amerika:
1.
Dukungan kongres yang
kuat untuk gagasan Perpustakaan Kongres baik sebagai lembaga legislatif dan
perpustakaan nasional;
2.
Awal dari koleksi
lengkap Americana;
3.
Bangunan baru yang
megah, monumen nasional; dan
4. Pustakawan Kongres yang kuat dan independen. Masing-masing Pustakawan Kongres sejak Spofford membentuk
institusi dengan cara yang berbeda, tetapi tidak ada yang pernah ragu dari
pernyataan Spofford bahwa Perpustakaan adalah lembaga legislatif dan nasional.
Spofford lahir di Gilmanton, New
Hampshire, pada 12 September 1825. Dia dibimbing di rumah dan berkembang
menjadi pembaca dan mahasiswa yang rajin. Pada
tahun 1845, dia pindah ke barat ke Cincinnati dan segera menemukan pekerjaan
yang menyenangkan sebagai petugas toko buku di perusahaan ED Truman, penjual
buku dan penerbit; berkat usahanya, toko itu
segera menjadi pengimpor buku-buku transendentalis New England —
pengarang-pengarang favoritnya. Dia adalah salah
satu pendiri Klub Sastra di Cincinnati. Pada
1852 ia menikahi Sarah Partridge, seorang guru sekolah yang dulunya berasal
dari Franklin, Massachusetts dan mereka memiliki tiga anak: Charles, Henry, dan
Florence.
Spofford memulai karir baru pada 1859
sebagai Associate Editor dari surat kabar terkemuka Cincinnati, the Daily
Commercial ; dalam editorial pertamanya, berjudul "A
Bibliologist," dia menyerang praktik pembelian buku yang naif dari
pustakawan kota. Dua tahun kemudian surat kabar
mengirimnya ke Washington, DC untuk melaporkan pembukaan Kongres ke-37 dan
peresmian Presiden Abraham Lincoln, sebuah perjalanan yang mengarah pada
penerimaannya, pada bulan September 1861, dari posisi Asisten Pustakawan
Kongres. Berpengetahuan luas, rajin, dan
ambisius, ia mengumpulkan dukungan dari banyak anggota Kongres ketika jabatan
Pustakawan Kongres menjadi kosong pada akhir 1864. Pada tanggal 31 Desember
1864, Presiden Lincoln menamainya ke pos. Terletak
di depan barat US Capitol, Perpustakaan memiliki tujuh staf dan koleksi buku
sekitar 82.000 volume.
Spofford segera mulai bekerja
membangun peran nasional Perpustakaan, dan ia mengejar tujuan ini dengan energi
dan keterampilan politik. Anggota Kongres
menyukai dia dan dengan bantuan dari teman-temannya dari Ohio, terutama
Rutherford B. Hayes dan James A. Garfield, ia memperoleh dukungan untuk
beberapa tindakan legislatif antara 1865 dan 1870 yang memastikan pertumbuhan
koleksi dan membuat Perpustakaan Kongres menjadi perpustakaan terbesar di
Amerika Serikat. Undang-undang baru termasuk
transfer perpustakaan Smithsonian Institution ke Library of Congress, pembelian
seharga $ 100.000 dari perpustakaan pribadi kolektor Americana Peter Force, dan
penggunaan pertukaran internasional untuk membangun koleksi Perpustakaan.
Ukuran baru yang paling penting adalah undang-undang
hak cipta tahun 1870, yang memusatkan semua kegiatan pendaftaran dan
penyimpanan hak cipta AS di Perpustakaan. Undang-undang
baru ini membawa buku, pamflet, peta, cetakan, foto, dan musik ke dalam
institusi tanpa biaya, sehingga menjamin pertumbuhan masa depan koleksi
Americana dan menyediakan Perpustakaan dengan fungsi nasional yang penting dan
unik.
Kepentingan profesional dan pribadi
Spofford secara akurat digambarkan dalam judul yang kuat dari Buku
A untuk Semua Pembaca, Dirancang sebagai Bantuan untuk Koleksi, Penggunaan, dan
Pelestarian Buku dan Pembentukan Perpustakaan Umum dan Swasta (1900). Dia dihormati oleh
pustakawan, politisi, dan masyarakat umum, bukan hanya karena prestasinya di
Perpustakaan, tetapi juga karena pikirannya yang adil dan antusiasme untuk
berbagi pandangannya tentang mata pelajaran favoritnya — membaca, bibliografi,
dan mengumpulkan koleksi. Pustakawan Kongres
Putnam membayar temannya Ainsworth Rand Spofford penghormatan resmi terakhir
dalam Laporan Tahunan Perpustakaan 1908: "Pelayanannya yang paling abadi -
peningkatan koleksi (Perpustakaan) - berlanjut hingga beberapa minggu terakhir
dalam hidupnya, dan dilanjutkan dengan antusiasme, pengabdian, konsentrasi yang
sederhana, sabar, dan sulit yang selalu membedakannya. Sejarahnya selama
periode yang paling berpengaruh adalah sejarah Perpustakaan dari tahun 1861
hingga 1897.
6. ABD AL-SALAM
Abd al-Salam merupakan pustakawan dan manajer administrasi
yang terkenal dari Perpustakaan Dar al-Kutub di Baghdad. Ia seorang pakar
humaniora. Selain itu, ia juga menguasai berbagai cabang pengetahuan, mulai
dari ilmu Alquran, hadis, hingga leksikografi.
Melalui
tangan dinginnya, perpustakaan ini tumbuh pesat dan menjadi salah satu kiblat
pengetahuan di dunia Islam. Menurut Makdisi, ketika meninggal tahun 1014 Masehi,
Abd al-Salam dimakamkan di sebelah makam pakar tata bahasa terkemuka, Abu Ali
al- Farisi. Ini penghargaan atas kontribusinya dalam memajukan ilmu
pengetahuan.
Al
Qayrawani pun patut mendapat perhatian, mengingat keahliannya dalam mengelola
perpustakaan di Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Seperti halnya Abd al-Salam, dia
juga seorang pakar, yakni di bidang filologi. Cendekiawan Muslim, al-Suyuthi,
menyatakan al-Qayrawani adalah pustakawan pertama di perpustakaan yang
berpengaruh tersebut.
Pustakawan sebagai profesi yang penting di era itu pun
dibuktikan oleh kehadiran Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Khazin. Ia wafat
pada 1116 Masehi. Pakar fikih dari mazhab Syiah Imamiyah ini adalah juga pakar
humaniora khususnya dalam ilmu tata bahasa dan leksikografi.
Makdisi
menjelaskan, sebagai seorang kaligrafer terkemuka, Abu Manshur kerap mendapat
tugas menyalin berbagai karya dengan kaligrafinya yang indah. Ia pun dijuluki
Sang Pustakawan atau ‘al-Khazin’ karena kepiawaiannya dalam mengelola
perpustakaan. Ia menduduki jabatan pustakawan di Dar al-Kutub pada 993 Masehi.
Nama
lain yang muncul sebagai pustakawan ternama adalah Abu Abdullah Muhammad bin
al-Hasan bin Zarrarah al-Tha'i. Ia hidup pada abad ke-12. Menurut sejarawan
al-Salafi, al-Tha’i, tokoh ini memiliki beragam profesi hebat karena
keahliannya di berbagai cabang pengetahuan.
Selain sebagai pustakawan, al-Tha'i mengepalai rumah sakit di
Iskandariyah. Pakar humaniora yang menetap di Baghdad ini mengurus sebuah
perpustakaan masjid yang cukup besar di sana. Di masjid itu, juga terdapat
sebuah kelompok studi yang mengkaji masalah humaniora.
Ali bin Ahmad bin Bakr menjelma juga menjadi pustakawan.
Sebelum menekuni bidang tersebut, ia belajar leksikografi pada al-Jawaliq dan
belajar tata bahasa pada Ibnu al- Syajari. Selama beberapa lama, ia bertugas
sebagai pustakawan madrasah. Ia menyalin pula catatan seorang kaligrafer
tentang sejumlah buku adab.S
B.
Dalam tingkat Indonesia
1. SULISTYO BASUKI
Sulistyo-Basuki adalah
Guru besar Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya dan Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Sulistyo-Basuki, atau akrab
dipanggil Pak Sulis (lahir di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 11 September 1941; umur 72 tahun) merupakan putra pertama almarhum
Bapak Hardjito dan Ibu Moeridjah Hardjito, yang kedua-duanya merupakan
pensiunan guru Sekolah Rakjat di Blitar. Ibunda Moeridjah sempat merangkap
pustakawan ketika menjadi guru bantu di Meisjes Vervolgschool Wlingi.
Pendidikannya di mulai di Frobel School di Sumbawa Besar (1948), Sekolah Rakjat
di Blitar (1954), SMP bagian B (Blitar, 1957), SMA bagian C (Blitar, 1960)
kemudian melanjutkan ke Sekolah Perpustakaan, cikal bakal pendidikan arsiparis
di Indonesia. Ia memperoleh gelar Sardjana Muda (Universitas Indonesia, 1963),
Sarjana Sastra (Universitas Indonesia 1974), Master of Science (Case Western
reserve University, Cleveland, Ohio, USA 1980), Master of Arts (1980).
Ia menjadi putra Indonesia pertama yang
meraih gelar doktor dalam bidang Information and Library Science dan
juga gelar profesor bidang Ilmu Perpustakaan (sejak tahun 1995). Gelar doktor diraihnya akhir Juni 1984 di Case
Western Reserve University Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Ia mempertahankan
disertasi yang berjudul: A Citation Analysis of Agricultural and
Medical Journal Published in Less Developed Countries, With Special Reference
to the Regions of Africa Sub-Sahara, Latin America, and Southeast Asia.
Pak Sulis merupakan pengajar dan penulis
yang aktif. Buku-buku terbitannya telah menjadi pegangan dasar bagi mahasiswa
jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di universitas seluruh Indonesia. Gaya
mengajar beliau yang kalem dan bersahaja sangat disukai oleh para mahasiswanya.
Salah satu joke yang sering diungkapkannya ketika melihat para mahasiswa
kebingungan di kelas adalah “yang bodoh ini pasti saya karena tidak bisa
mengungkapkan ide dengan baik”. Beliau adalah profesor yang sangat rendah hati.
Ketika mengajar mata kuliah Metodologi
Penelitian untuk mahasiswa tingkat akhir, Pak Sulis tidak henti-hentinya
mengingatkan “publish or perish”. Sebuah ungkapan yang sangat tegas dan jelas
dan akan selalu dikenang para mahasiswanya. Beliau juga sangat peduli dengan
karya cipta. Jangan sekali-sekali membawa buku teks fotocopian di kelas. Hal
disiplin lainnya yang diajarkan oleh beliau adalah untuk selalu menyebut sumber
tulisan dalam sebuah karya tulis agar tidak disebut dukun.
v Jabatan
a.
Guru Besar, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (1995-sekarang)
b.
Pengajar Program Ilmu Perpustakaan,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1990-sekarang)
c.
Pengajar, Jurusan Ilmu Perpustakaan
(Perpustakaan) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
(1975-sekarang)
v Pendidikan
a.
Sardjana Muda – Universitas Indonesia
(1963)
b.
Sarjana Sastra – Universitas Indonesia
(1974)
c.
Master of Science in Library Science– Case
Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1980)
d.
Master of Arts (History) – Case Western
Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1980)
e.
Doctor of Philosophy, Case Western Reserve
University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1984)
f.
Diangkat sebagai professor di Universitas
Indonesia pada tahun 1995
v Pengalaman kerja
a.
1962–1963 Perpustakaan Yayasan Yamin
b.
1963–1965 Bagian Dokumentasi Madjelis Ilmu
Pengetahuan Indonesia
c.
1965–1967 Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
d.
1967–1977 Departemen Luar Negeri
e.
1977-sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya (dahulu Fakultas Sastra) Universitas Indonesia
f.
1984–1986 Pengajar, Ilmu Kedokteran Dasar,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
g.
1990-sekarang Pengajar Program Studi Ilmu
Perpustakaan program Pascasarjana Universitas Indonesia
h.
1992-sekarang Pengajar Program Manajemen
Dokumen dan Informasi (dahulu Program Kearsipan) Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia
i.
1994-1996 Kepala Pusat Sumber Daya Manusia
dan Pemasyarakatan Arsip Nasional RI
j.
1995-sekarang Pengajar, Program Pascasarajana
Program Studi Ilmu Perpustakaan pengutamaan kearsipan di Universitas Indonesia
v Pengalaman pelatihan
a.
Mengajar berbagai kursus kearsipan yang
diselenggarakan oleh Arsip Nasional RI, Arsip Daerah di Sumatera Barat, Jawa
Barat, Jawa Timur, Irian Jaya;
b.
Pengajar Records Management Course 1995
sampai sekarang.
Pertemuan Internasional
a.
Regional Archivists Meeting di Kuala
Lumpur, Malaysia tahun 1994 dan 1995
b.
Southeast Asia Branch of International
Council on Archives 1995 di Jakarta
c.
International Council on Archives Congress
di Beijing, RRC (1996) dan Sevilla, Spanyol (2000)
v Karya Tulis
Buku
a.
Administrasi Arsip: Sebuah Pengantar.
Jakarta: [], 2001
b.
Manajemen Arsip Dinamis: Pengantar
Memahami dan Mengelola Informasi dan Dokumen. Jakarta: Gramedia, 2003
c.
Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2006
d.
Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991
e.
Periodisasi Perpustakaan Indonesia.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994
Penelitian
Digisation of Collection in Indonesia
Academic Libraries: kajian Jaringan Komunikasi Ilmiah di Indonesia dengan
Menggunakan Analisis Subjek & Analisis Sitiran.
2.
DAUDZAN FAROUK
Dauzan Farouk merupakan Bapak delapan putra-putri kelahiran Kampung Kauman,
Yogyakarta pada 1925 itu, mendirikan Mabulir karena terinspirasi dari masa
kecilnya membantu ayahnya, H. Muhammad Bajuri, yang mengelola Taman Pustaka
Muhammadiyah pada zaman sebelum Indonesia Merdeka. Pada tahun 1989 Mbah Dauzan
menghabiskan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 untuk membeli buku
kemudian mendirikan perpustakaan bergilir bernama Mabulir. Mbah Dauzan pun
berkeliling kota Gudeg mengedarkan buku-bukunya secara gratis.
Setiap hari sejak bangun tidur, lelaki tua itu membaca buku, merapikan dan
memperbaiki sampul sebagian buku-bukunya yang mulai rusak. Aktifitas
meminjamkan aneka buku dilakukannya sore hari dengan bersepeda atau naik bis
kota. Ia mendatangi kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja
mesjid, dan pemuda Karang Taruna. Kelompok pengajian, tukang becak yang tengah
mangkal, bahkan para ibu penjual di pasar-pasar, tak luput menjadi ‘sasaran’
untuk dipinjami buku secara gratis.
Konsistensinya
membuahkan penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan
Nasional tahun 2005 , Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari
Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di
acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farouk mendapat gelar sebagai
Pejoeang Literasi Indonesia.
Tapi tentu bukan penghargaan yang Mbah Dauzan cari. Namun tentu ini adalah
kata hati yang direalisasikan dalam bentuk nyata untuk suatu nilai yang tidak
kuantitatif.
Saat kecil,
saya memang lumayan hidup berkecukupan aneka buku dari orangtua. Mulai dari
buku pengetahuan umum, biografi ringan, komik-komik, buku dogeng, maupun
majalah dan Koran. Saat berkunjung ke perpustakaan daerah saya sempat
berkomentar dalam hati, “Lho, ternyata masih lebih menarik koleksi buku di
rumah saya.” Tapi mohon maaf kepada siapapun yang tersinggung pada pikiran
saya saat itu, karena saya baru sadar setelah beranjak dewasa bahwa tidak semua
orang bernasib seperti saya. Orangtua saya, meski kondisi hidup bukan terbilang
mewah, namun masih meluangkan uangnya untuk menambah khazanah pengetahuan semua
anak-anaknya. Selain itu, saya kebetulan mengenyam pendidikan dari sekolah
dasar hingga menengah atas di sekolah yang perpustakaan nya memadai dari segi
fisik ruangan maupun koleksi.
Akan tetapi,
tentu tidak semua bisa seperti saya kecil. Ongkos produksi buku yang terus
menerus melambungkan harga jual, begitu banyak pilihan buku yang tidak bisa
diikuti kondisi finansial, atau karena kebutuhan primer yang mau tidak mau
harus dicukupi sehingga buku menjadi prioritas tersier, masalah aksesbilitas
bacaan, dan problematika mencerdaskan bangsa, tentu menjadi salah satu dari
sekian banyak alasan mengapa kita membutuhkan banyak Mbah Dauzan.
Mbah Dauzan selalu membaca semua buku sebelum dipinjamkan kepada para
pelanggan, walaupun untuk membacanya harus menggunakan kaca pembesar, sebagai
bentuk ingin memberikan bacaan yang terbaik. Lelaki yang tidak menyelesaikan
kuliahnya di Fakultas Sastra Timur Universitas Gadjah Mada itu telah mengambil
peran dalam mencerdaskan manusia melalui buku bacaan yang dipinjamkan dari satu
tangan ke tangan lain. Namun satu hal yang harus diingat pula, ketika berurusan
dengan ‘pinjam meminjam buku’ maka problem lainnya adalah kadang pembaca buku
tidak memperlakukan buku dengan layak. Pernah menemukan buku perpustakaan yang disobek
pada halaman tertentu? (Bahkan saya pernah menemukan hal ini di koleksi skripsi
S1 di perpustakaan). Pernah mendapat buku yang dikembalikan dalam kondisi lecek,
keriting, atau, lebih parah, terkena minyak? Nah, saatnya kita juga
memulai menumbuhkan semangat “Sayang Buku”. Meski itu bukan milik kamu pribadi.
Namun, sosok
seperti Mbah Dauzan tidak berpikir materi. Ia meminjamkan dengan sistem
bergilir, yang disebutnya sebagai sistem multilevel reading. “Mengelola
perpustakaan keliling adalah bisnis dengan keuntungan abstrak. Landasannya
kepercayaan sehingga aturannya tidak perlu birokratis. Dagangan Tuhan. Tidak
perlu ada KTP atau apa.
3. MUHAMMAD AZWAN, M. Hum
Muhammad Azwar lahir di
Ujung Pandang, 15 Januari 1980. Anak kelima (bungsu) dari pasangan Letkol
(Purn). Inf. Drs. Abdul Muin (almarhum) dan Siti Rachima. Pendidikan dasar
ditempuh di SDN 02 Sengkang (1987-1992). Kemudian melanjutkan di SMP
Muhammadiyah V Mariso di Ujung Pandang hingga 1995. Pada tahun 1998 berhasil
menyelesaikan pendidikan di SMUN 02 Ujung Pandang. Meraih gelar sarjana pertama
di STAI Madinatul Ilmi, Depok jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas
Tarbiyah pada tahun 2005. Memperoleh kesempatan belajar dengan beasiswa dari
Kementerian Agama di Universitas Indonesia jurusan Ilmu Perpustakaan dan
Informasi tahun 2009 dan memperoleh gelar Magister tahun 2011.
Karya Ilmiah
1. MODS
Metadata Alternatif dalam Pengembangan Aplikasi Perpustakaan Digital di
Indonesia (Studi Kasus Senayan Library Management System) tahun 2012
2. Information Literacy
Skills : Strategi Penelusuran Informasi Online tahun 2013
3. Penerapan
Knowledge Management (Studi Kasus SDIT Al-Hamidiyah Depok) tahun 2013
4. Membangun
Sistem Otomasi Perpustakaan dengan Senayan Library Management System (SLiMS)
tahun 2013
5. Teori Simulakrum
Jean Baudrillard dan upaya pustakawan mengidentifikasi informasi realitas tahun
2014
6. Penerapan
Sistem Otomasi di Perpustakaan Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Alauddin
Makassar tahun 2015
7. Pemanfaatan
Fitur Z39. 50 pada SLiMS (Studi Kasus di Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Alauddin) tahun 2016
8. Pemanfaatan
Jurnal Elektronik oleh Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
tahun 2015
9. Peranan
Perpustakaan Sekolah dalam Mendukung Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Di SMA Negeri 1 Sinjai Tengah tahun 2016
10. Kemampuan
Mahasiswa dalam Menelusuri dan Mengevaluasi Informasi Berbasis Internet (Studi
Kasus Mahasiswa JIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Angkatan 2007) tahun 2011
11. Manajemen
tata ruang perpustakaan pesantren madani Alauddin Pao-Pao Makassar tahun 2017
4.
PUTU LAXMAN PENDIT
Tokoh Pustakawan Indonesia Putu Laxman Pendit Nama : Putu Laxman Sanjaya
Pendit TTL : Jakarta, 3 September 1959 Nama Orang Tua : a. Ayah : Nyoman S.
Pendit b. Ibu : Murtini S. pendit Nama Istri : Meily Zulia Nama Anak : a.
Shasha Kanitrisutra b. Raudry Bungadyarti Putu Laxman Sanjaya Pendit atau
sering disebut dengan Putu Laxman Pendit ialah seorang pustakawan yang
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu dibidangnya antara lain sebagai penulis,
peneliti, pendidik dan pengajar bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi.
Kiprahnya sangat dikenal dikalangan para pustakawan yang haus dengan isu dan
hal-hal fundamental tentang kepustakawanan. Gagasan-gagasan segarnya selalu
muncul dan menjadi topik diskusi yang hangat bagi pemerhati kepustakawanan
Indonesia. Ia sosok pustakawan yang terbuka dan menerima saran atau kritikan
yang sekiranya dapat membangun lebih baik karya-karyanya. Banyak
perubahan-perubahan yang ia lakukan diantaranya penggunanaan perpustakaan
digital yang dapat memudahkan masyarakat (pengguna) untuk mengakses informasi
serta kreatifitas pustakawan untuk menarik minat pengunjung untuk datang ke
perpustakaan. Seorang pustakawan harus proakftif dalam meningkatkan
keterampilan sehingga tidak perlu menunggu pihak ketiga untuk bertindak
terlebih dahulu untuk menyelesaikan apa yang telah menjadi pekerjaan
pustakawan. Selain itu ,pustakawan dituntut untuk dapat meningkatkan kemampuan
dirinya sendiri dan dengan demikian dapat terbukti dimasyarakat bahwa ia dapat
diandalkan.
Gaya kepemimpinannya menggunakan model kepemimpinan demokratis karena
berorientasi pada partisipasi masyarakat, bersifat terbuka, bawahan diberikan
kesempatan untuk memberi saran, dan menghargai waktu serta pengambilan
keputusan lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun Putu
Laxman Pendit juga sering bersikap ambisius, karena akibat keambisiusannya ia
mampu berkontribusi terhadap peran pustakawan dalam melayani masyarakat akan
kebutuhan informasi. Untuk itu kepemimpinan Putu Laxman Pendit dalam hal ini
berpegang teguh pada tiga konteks utama yakni : komitmen, kompleksitas, dan
kredibilitas.
Pendidikan
·
Sarjana dari Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang
Institut Ilmu Sosial & Ilmu Politik) (1986)
·
Master dalam Information Science dari Loughborough
University of Technology, Inggris Raya (1988)
·
Ph.D dari
School of Business Information, RMIT University, Melbourne Australia
(1997-2000) dengan disertasi berjudul “The use of Information Technology in
Public Information Services: an interpretive study of structural change via
technology in the Indonesian Civil Serviceâ€
Pengalaman Kerja
·
Asisten dosen matakuliah komunikasi, media, dan
jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (1982)
·
Editor bidang teknologi dan luar negeri untuk Majalah
Berita X-tra milik Femina Group (1985 – 1987)
·
Pengajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra
(sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia
(1988-2004)
v Karya Tulis
Penelitian
·
Penerapan teknologi hipertext untuk sistem informasi
arkeologi.
Buku
·
Menjadi Penulis: Membina Jemaat yang Menulis (sebagai
penerjemah)
·
Empat Teori Pers (terjemahan) (1986)
·
Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi, sebuah
pengantar diskusi Epistemologi & Metodologi (2003)
·
Mata Membaca, Kata Bersama (2007)
·
Perpustakaan Digital Dari A sampai Z (2008)
·
Kesinambungan dan Dinamika Perpustakaan Digital (2008)
Merajut Makna
·
Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Informasi
(2009)
5. JNB TAIRAS (Tokoh Katalogisasi dan Klasifikasi Indonesia)
J.N.B. Tairas merupakan seorang pustakawan yang pertama menjadi wakil
Indonesia dan sekaligus sebagai pemakalah pada International Conference on Cataloguing Principles (ICCP) yang
dilaksanakan di Paris pada oktober 1961, hasil dari konreferensi tersebut
kemudian dikenal dengan Paris Principles.
Pada
konferensi tersebut beliau membawakan makalah berjudul “Cataloguing of Indonesia Names”.
Pustakawan Bukan Cita-Cita J.N.B.
Tairas
Di
Kotamobagu Sualwesi Utara pada tanggal 19 Januari 1929, J.N.B. Tairas
dilahirkan. Ayahnya yang seorang guru sekolah rakyat mendidiknya dengan ketat,
nama lengkapnya adalah Jan Ngion Benyamin Tairas. Beliau adalah Pustakawan
senior yang sejak tahun 1952 sampai dengan wafatnya pada hari Kamis tanggal 27
Mei 2004 tetap mengabdikan dirinya dalam dunia perpustakaan. Selama hidupnya
beliau juga aktif pada berbagai kegiatan pelayanan keagamaan dan kemasyarakatan
di lingkungan tempat tinggalnya.
Pendidikan yang dilaluinya dari pendidikan dasar hingga
pendidikan menengah, masih menggunakan sistem pendidikan model Belanda.
Pendidikan jenjang MULO B diselesaikan di Tomohon Sulawesi Utara pada tahun
1948. pada Tahun 1949 – 1950 melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, yaitu AMS B yang kemudian dilebur menjadi SMA yang ditamatkannya
di SMA Negeri bagian B di Tomohon pada tahun 1952.
Setelah lulus SMA sedianya ingin menlanjutkan ke
perguruan tinggi di Makasar dan bercita-cita menjadi ahli ekonomi, manun karena
keadaan keuangan yang tidak memeungkinkan pada saat itu, maka Tairas muda
melamar pekerjaan dan diterima di Perpustakaan Rakyat Makasar. Hal tersebut
merupakan titik awal J.N.B. Tairas menggeluti profesi pustakawan.
Pada awal bulan Oktober 1954, J.N.B. Tairas berangkat ke
Jakarta guna mengikuti Kursus Pendidikan Ahli Perpustakaan (KPAP), yang
bertempat di Jalan Medan Merdeka Selatan No. 11 selama 2 tahun, kursus tersebut
adalah meruapakan angkatan yang ke 3. Pengajar pada kusrsus pimpinan A.H.
Habraken tersebut semuanya mendapatkan pendidikan perpustakaan di
Netherland. Setamat dari KPAP tahun 1956, Tairas Tidak pulang ke kota asal,
sebagai lulusan terbaik beliau diminta untuk menjadi pengajar paroh waktu untuk
angkatan berikutnya. Kemudian karir pustakawannya berlanjut mulai tanggal 1
Desember 1956 di Kantor Pusat Perpustakaan Rakyat, Jawatan Pendidikan
Masyarakat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Pengajaran dengan tugas
sebagai guru tidak tetap pada kursus tertulis Pembimbing Pendidikan Masyarakat,
Jurusan Perpustakaan.
J.N.B. Tairas diangkat sebagai Guru Muda Tingkat II dan
ditugaskan pada KPAP Jakarta sebagai pegawai tetap sampai dengan tahun 1970.
KPAP pada tahun 1961 menjadi pendidikan tingkat sarjana. Untuk meningkatkan
kemampuan keilmuannya Tairas dikirim ke New
Zeland untuk mengikuti pendidikan profesional- non gelar selama 2 tahun
yang bertempat di The National Library
Service. Sesudah 9 bulan pendidikan , pada tanggal 29
Nopember 1959 Tairas menamatkan pendidikan di New Zeland tersebut, dengan
makalahnya yang berjudul Toward to The
National Library of Indonesia, makalah tersebut terpilih sebagai salah satu
dari dua makalah untuk diterbitkan oleh The
Library School dalam Jurnal Nomor 1 seri Library School Studies in Library Administration, tahun 1960.
Pada
tahun 1959 J.N.B. Tairas sudah mengemukakan ide untuk pendirian
perpustakan nasional di Indonesia, namun demikian Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia baru berdiri pada tahun 1989, dengan dasar Keputusan
Presiden RI Nomor 11 tahun 1989. Dengan
demikain ide tentang perpustakaan nasional dari Tairas baru terlaksana setelah
30 tahun.
Sekembalinya
dari New Zeland bulan Juli 1960,
Tairas menempati posisi semula sebagai dosen tetap KPAP yang merupakan cikal
bakal berdirinya Jurusan Ilmu Perpustakaan di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Sesuai dengan SK
Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) tahun 1963 Tairas diangkat
menjadi Asisten Dosen Perguruan Tinggi. Selanjutnya mulai bulan April 1964
ditugaskan sebagai dosen mata kuliah Organisasi, Teori Katalogus, Klasifikasi
dan Pemeriksaan Bibliografi. Tahun 1969 keluar surat edaran Dekan Fakultas
Sastra UI, didalam surat ederan tersebut dinyatakan bahwa tanggung jawab untuk
suatu mata kuliah adalah sarjana. Pada tahun berikutnya, tepatnya bulan Mei
1970, karena hal tersebut akhirnya, atas perminataan sendiri berhenti menjadi
dosen. Pada waktu itu sebetulnya Tairas mempunyai tugas rangkap sebagai Chief Cataloger pada The Library of Congress Acquisition Office
Jakarta.
Karya-Karya
J.N.B. Tairas
·
Dunia
Perpustakaan mulai ditekuni oleh J.N.B. Tairas tahun 1952-1954 dengan bekerja
pada Perpustakaan Rakyat Makasar, T
·
ahun
1956-1957 bekerja di Perpustakaan Rakyat Pusat di Jakarta. Juga
bekerja sebaghai pustakawan di The Library of Congress Aquisition Office
Jakarta,
·
Tahun 1964 – 1975 (sebagai Chief Cataloger), dan editor Library of Congress Accession List.
·
Tahun 1965 – 1967 juga bekerja di
Perpustakaan Lemhanas,
·
1976 – 1980 bekerja sebagai pustakwan freelance di berbagai perpustakaan
swasta maupun instansi pemerintah.
·
Dari tahun 1991 sampai dengan wafatnya
J.N.B. Tairas bekerja sebagai konsultan di Perpustakaan Nasional RI, dan
menangani proyek-proyek tertentu di perpustakaan tersebut. Hingga hari tuanya,
karena dedikasi yang tinggi terhadap dunia kepustakawanan di Indonesia Tairas
tetap aktif mengikuti kegiatan-kegiatan dunia perpustakaan.
Pada
saat bekerja di Perpustakaan Rakyat Makasar, beliau mendalami Universial Decimal Calsification,
pedalaman sistem klasifikasi dilakukan karena sistem itu digunakan di
perpustakaan tersebut. J.N.B. Tairas memiliki kemauan yang sangat tinggi dalam
bidang katalogisasi dan klasifikasi, ini dibuktikan dengan kesukaanya pada mata
kuliah pelajaran katalogisasi dan klasifikasi saat belajar di KPAP dan Library School di New Zeland (Hasugian, 2003). Hasil karya dalam bidang katalogisasi
yang pernah dihasilkan, yaitu pada tahun 1960 bersama dengan Rojani menyusun
Daftar Tajuk Subyek (tidak sempat diterbitkan). Sekembalinya dari Paris
sebagai wakil Indonesia dan sekaligus sebagai pemakalah pada International Conference on Cataloguing
Principles tahun 1961, keinginan untuk mendalami katalogisasi dan
klasifikasi semakin kuat, sehingga akhirnya menjadi karya-karya yang dapat
dipakai sebagai alat pengolahan bahan pustaka.
Pada
saat Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia tanggal 5-7 Juli 1973, beliau
menyatakan bahwa walaupun pendidikan perpustakaan di Indoneisa sudah berusia 20
tahun, namun sangat sedikit yang dicapai dalam bidang katalogisasi dan
klasifikasi. Hal tersebut terdapat dalam maklalahnya yang disampaikan pada
acara tersebut, yang berjudul ”Tinjauan Klasifikasi dan Katalogisasi Dewasa ini
di Indonesia”. Di dalam tahun yang
sama (1973) J.N.B. Tairas menghasilkan sebuah karya bibliografi dengan
judul ”Daftar Karya Bibliografi Indonesia”, bibliografi tersebut diterbitkan
oleh Lembaga Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
J.N.B.
Tairas pada tahun 1976 bersama Tim dari Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku Peraturan Katologisasi dan
Nama-Nama Indonesia. Setahun kemudian (1977) Menerjemahkan buku Interntioanl Standard Bibliographic
Description For Monographic Publication atau ISBD(M) dalam bahasa Indonesia.
Disusul dengan diterbitkanya ”Peraturan Mengkatalog
Terbitan Berseri : Pertauran menentukan tajuk entri utama untuk majalah
terjemahan, surat kabar, termasuk terjemahan ISBD(S) pada tahun
1978. Upaya yang dilakukan oleh J.N.B. Tairas ini merupakan titik awal untuk
menyingkap salah satu aspek yang paling penting dalam sejarah pengatalogan
bahan pustaka di Indonesia. Karya yang dihasilkan selanjutnya adalah sebagai
berikut :
1. Perturan Katalogisasi Indonesia , J.N.B. Tairas dan
Soekarman (1980) dan pada tahun 1982 dicetak ulang.
2. Pedoman Tajuk Subyek Perpustakaan, J.N.B. Tairas
dan Soekarman (1990) yang diterbitkan oleh Penerbit BPK Gunung Mulia.
3. Daftar Tajuk Subyek untuk Perpustakaan Edisi ke 4,
(1992), J.N.B. Tairas sebagai Koordinator Tim Penyusun. buku tersebut dicetak
ulang poada tahun 1994.
4. Simplikasi Katalog Suatu Trend Katalogisasi Masa Kini
(1995). Makalah disampaiakn pada Kongres ke 7 Ikatan Pustakwan Indonesia,
tanggal 20-23 Nopember di Jakarta.
5. Universal
Decimal Clasification (UDC) :
Pedoman Pemakaian (1978) dengan tim Badan Pembinaan Hukun Nasional.
6. Klasifikasi Desimal Universal, terjemahan (1980),
diterbitkan BPHN.
7. Pedoman Tajuk Subyek untuk Perpustakaan Umum dan Sekolah,
(1977) diterbitkan oleh Pusat Pembionaan Perpustakaan Departemen P dan K.
8. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey, edisi pertama..
J.N.B. Tairas Bersama Towa Hamakonda (1978), kemudia pada tahun 1982 direvisi
lagi, selanjutnya setelah wafatnya Towa Hamakonda, terbit edisi 5 (revisi)
9. Klasifikasi Bahan Pustaka Tentang Indonesia Menurut DDC.
J.N.B. Tairas dan Soekarman (1993) dan diterbitkan kembali dengan revisi
tahun 1996.
10. Pengembangan Sistem Klasifikasi Bahan Hukum Menurut UDC
(1997). Sebagai Ketua Tim
Beliau sangat senang berorganisasi, hal tersebut terbukti
dengan aktivitas beliau dalam organisasi kepustakawanan. Seperti dinyatakan
oleh Hasugian (2003), bahwa J.N.B. Tairas adalah sosok Pustakawan yang tak
pernah lupa akan organisasi profesinya, bahkan beliau adalah tokoh dan pelaku
dalam perjalanan sejarah Organisasi profesi pustakawan hingga sekarang menjadi
.Ikatan Pustakawan Indonesia. Aktivitas Organisasi J.N.B. Tairas, sebagai
berikut :
1. 1953, J.N.B. Tairas sudah aktif menjadi anggota Asosiasi
Pustakawan Indonesia (API) di Makasar.
2. Ketua Ikatan Siswa Pendidikan Ahli Perpustakaan (ISPAP)
tahun 1954.
3. Sekretaris II Pengurus Perhimpunan Ahli Perpustakaan,
Arsip dan Dokumentasi Indonesia (PAPADI), 1957
4. APADI (Assosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi
Indonesia) tahun 1962, disini J.N.B. Tairas duduk sebagai Wakil Ketua.
(merupakan perubahan dari PAPADI).
5. Ketua IPI Cabang Jakarta, 1973-1975
6. Ketua I IPI Cabang Ibu Kota Jakaarta, 1980-1983
7. Anggota Badan Pembina IPI, 1989-1992
Selain aktif dalam organisasi profesi, beliau adalah merupakan motor
penerbitan majalah yang dari organisasi profesi tersebut, beliau juga pernah
menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi Majalah Ikatan Pustakwan Indonesia.
Pada tahun 1975 bersama Rojani, J.P. Rompas, Bambang
Sumantri, H.A.K. Bachrudin, Darlis Ismail, Rosali Said, dan Sudariah Nasution,
mendirikan dan mengajar di Lembaga Perpustakaan Dokumentasi dan Informasi
(LPDI) Jakarta. LPDI telah menghasilkan 62 angkatan hingga tahun 1997. Hal
tersebut menunjukkan kepedulian dari J.N.B. Tairas akan dedekasinya pada
kepustakawanan Indonesia.
6. BLASIUS SUDARSONO
Nama Blasius Sudarsono tempat tanggal lahir Solo, 02
Februari 1948; umur 65 tahun, beliau tumbuh di lingkungan pendidik karena
orangtuanya adalah guru sekolah dasar. Pak Dar sewaktu kecil gemar
mengutak-atik barang elektronika. Bahkan pelajaran ilmu pengetahuan alam untuk
anak SMP sudah ia pelajari sewaktu kelas lima SD. Tidak heran apabila ia
terobsesi menjadi seorang ilmuwan. Ketika lulus SMA, ia ingin belajar elektro
arus lemah. Tapi karena orangtuanya menginginkannya menjadi arsitek, dicobalah
mendaftar di jurusan elektro dan arsitektur ITB. Hanya diterima di jurusan
elektro, ia tidak memanfaatkannya. Orangtuanya kemudian ingin memasukkannya ke
sekolah elektronika milik Angkatan Laut. Tapi lantaran tak ingin menjadi
tentara, tawaran inipun ditampiknya. Akhirnya kuliah di jurusan fisika murni
UGM menjadi pilihannya hingga tingkat sarjana muda. Karena terlalu lama
menunggu dibukanya program sarjana penuh, Pak Dar memilih bekerja di
perpustakaan LIPI.
Mengawali karir sebagai staf urusan servis teknis, memberi
keuntungan bagi Pak Dar karena menjadi orang yang pertama bersentuhan dengan
teknologi maju dan mahal pada saat itu; komputer. Semua hal mengenai komputer
dipelajari secara otodidak. Begitu juga dengan kepustakawanan yang ia pelajari
dengan cara “mendengar”. Berkat ketekunannya, dalam waktu lima tahun, datang
tawaran untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana ilmu perpustakaan di Amerika
dengan skema beasiswa. Sepulang dari pendidikan, Pak Dar mendapat jabatan baru
menjadi Kepala Urusan Servis Teknis dan menjadi pengajar di program sarjana dan
pascasarjana Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia. PDII-LIPI
menyelenggarakan Kuliah Umum Bersama Blasius Sudarsono sejak Juli 2011 dengan
tema-tema fundamental yang beragam dan bisa diikuti secara gratis oleh para
pustakawan maupun pemerhati kepustakawanan. Blasius Sudarsono adalah tokoh
pustakawan yang mempunyai padangan baru mengenai kepustakawanan di Indonesia,
beliau menggunakan pendekatan melalui perspektif filsafat kepustakawanan, yang
belum pernah ada di Indonesia. Universitas yang mempunyai jurusan Ilmu
Perpustakaan dan Informasi seperti di UI, UGM, UNPAD, UNAIR, UWK, UB, UIN,
YARSI, dll, baru di UNPAD yang ada mata kuliah filsafat kepustakwanan. Basius
Sudarsono adalah cikal bakal pengajar di Indonesia.Kontribusi pemikiran Blasius
Sudarsono untuk perpustakaan dan pustakawan masa kini adalah filsafat
kepustakawanan.
Pertanyaan tetang hakikat kepustakawanan sampai kini masih setia menjadi pendamping perjalan hidup seorang tokoh dan sekaligus pemerhati pustakawan Indonesia. Blasius Sudarsono namanya, beliau sangat terobsesi untuk menemukan rumus dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan semua fenomena tentang perpustakaan, termasuk semua hal yang terkait di dalamnya. Mungkin saja ia tidak akan berhasil menemukan hal itu. Namun ia berharap ada sejawat lain, yang kelak akan berhasil menemukan hakikat atau teori dasar kepustakawanan Indonesia. Kepustakawanan Indoenesia menurut ia dimaksudkan sebagai ilmu perpustakaan dan seni menerapkanya di Indonesia. Bagi Pak Dar. Harus ada bedanya anatara Library Science yang mungkin bersifat universal dan Indonesian Librarianship yang harus berakar dan bercirikan khas Indonesia. Ia memahami, jika banyak sejawat pustakawan Indonesia yang tidak setuju denganya.
Pertanyaan tetang hakikat kepustakawanan sampai kini masih setia menjadi pendamping perjalan hidup seorang tokoh dan sekaligus pemerhati pustakawan Indonesia. Blasius Sudarsono namanya, beliau sangat terobsesi untuk menemukan rumus dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan semua fenomena tentang perpustakaan, termasuk semua hal yang terkait di dalamnya. Mungkin saja ia tidak akan berhasil menemukan hal itu. Namun ia berharap ada sejawat lain, yang kelak akan berhasil menemukan hakikat atau teori dasar kepustakawanan Indonesia. Kepustakawanan Indoenesia menurut ia dimaksudkan sebagai ilmu perpustakaan dan seni menerapkanya di Indonesia. Bagi Pak Dar. Harus ada bedanya anatara Library Science yang mungkin bersifat universal dan Indonesian Librarianship yang harus berakar dan bercirikan khas Indonesia. Ia memahami, jika banyak sejawat pustakawan Indonesia yang tidak setuju denganya.
Filsafat kepustakawanan Driyarkara yang
dipakai oleh Blasisus Sudarsono dalam mencari makna kepustakawanan. Driyarkara
membedakan antara filsafat sebagai ilmu (yang tidak dibahas dalam tulisan ini),
dan filsafat dalam arti yang lebih luas yaitu dalam arti: usaha mencari
jawab atas berbagai pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala
sesuatu. Dikatakan pula bahwa filsafat adalah pernyataan/penjelmaan dari
sesuatu yang hidup di dalam hati setiap orang. Maka walaupun tidak setiap orang dapat menjadi ahli filsafat, namun
yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat itu memang berarti bagi kita
semua. Pustakawan adalah orang (manusia). Maka jika kita memakai kalimat
Driyarkara dengan mengganti kata orang dengan kata pustakawan dan sedikit
memodifikasikannya, maka akan diperloleh kalimat berikut: Filsafat kepustakawanan adalah pernyataan/penjelmaan
dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap pustakawan. Maka walaupun tidak
setiap pustakawan dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau
dipersoalkan dalam filsafat kepustakawanan itu memang berarti bagi semua pustakawan.
Pemikiran Blasius Sudarsono di atas, dapat disimpulkan bahwa beliau menekankan pada aspek falsafah humanisme dengan filsafat Driyarkara yang di dalamnya lebih menfokuskan pada sisi kemanusianya, artinya pada diri seorang pustakawan harus terdapat keilmuan yang menjadi cikal-bakal bagi pustakawan itu sendiri untuk lebih mengenal hakikat pustakawan dengan menumbuh kembangkan kepustakawananya dikarenakan hal tersebut merupakan akar yang ada pada diri seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang pustakawan dengan tumbuh sifat kepustakawanan tersebut, diharapkan pustakawan dapat bekerja secara ideal dan profesional dalam melayani dan menyediakan informasi kepada pemustaka.
Pemikiran Blasius Sudarsono di atas, dapat disimpulkan bahwa beliau menekankan pada aspek falsafah humanisme dengan filsafat Driyarkara yang di dalamnya lebih menfokuskan pada sisi kemanusianya, artinya pada diri seorang pustakawan harus terdapat keilmuan yang menjadi cikal-bakal bagi pustakawan itu sendiri untuk lebih mengenal hakikat pustakawan dengan menumbuh kembangkan kepustakawananya dikarenakan hal tersebut merupakan akar yang ada pada diri seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang pustakawan dengan tumbuh sifat kepustakawanan tersebut, diharapkan pustakawan dapat bekerja secara ideal dan profesional dalam melayani dan menyediakan informasi kepada pemustaka.
Menurut Pak
Dar, ada 4 pilar kepustakawanan yang harus dimiliki seorang Pustakawan, yaitu:
·
Pustakawan
harus menjadi pangggilan hidup
·
Pustakawan
adalah semangat hidup (spirit of life)
·
Pustakawan
adalah karya pelayanan
·
Dilaksanakan
dengan profesional, kemauan dan kemampuan selalu beriringan
keterkaitanya dengan
filsafat driyarkara bahwa dalam diri pustakawan terdapat ruh yang menggerakan
seorang pustakawan untuk tetap bersemangat walaupun tidak lagi aktif bekerja di
perpustakaan, sebagai contoh dari pemikir sendiri yaitu Bapak Blasius Sudarsono
yang tetap eksis menggaungkan hakikat kepustakawanan sampai sekarang. Hal ini
menunjukan betapa pentingnya benih kepustakawanan itu harus disemai, dirawat,
dipupuk, jika perlu juga dipangkas rapi agar tumbuh subur berkembang dan
berbuah sehingga akaan terus menerus menjadi sebuah landasan diri bagi
pustakwan.
7. LASA HARSANA
Lasa Harsana merupakan salah satu pustakawan yang ulung. Beliau terus meningkatkan
progresifitas intelektualnya sehingga jabatan pustakawan utama (setaraf guru
besar pada jabatan fungsional dosen di perguruan tinggi) telah diperoleh pada
September 2007. Lebih dari 200 artikel hasil pemikiran beliau telah dimuat di
media cetak Yogyakara, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, Jakarta, Riau.
Lasa Harsana (Lasa Hs), dilahirkan di Boyolali pada 1 Januari 1948. Sebagai
anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan awal beliau dapatkan dari kedua
orang tuanya, dilanjutkan ke Sekolah rakyat islam mamba’ulum di Boyolali
selama, selanjutnya ke Madrasah tsanawiyah al-Islam di Boyolali, dan
menyelesaikan Madrasah ‘Aliyah al-Islam di Surakarta. Pendidikan berkarakter
islam dan dengan menjaga konsistensi
hingga saat ini beliau bersosok religius.
Pendidikan kesarjanaannya ditempuh pada program studi Bahasa Arab Fakultas
Sastra dan Kebudayaan (sekarang fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta tahun 1979. Kemudian beliau memperoleh pendidikan dan latihan
perpustakaan di UGM tahun 1973, penataran Perpustakaan Kopertis wilayah V DIY,
Program sertifikat ahli perpustakaan Fak. Sastra UI Jakarta, magang pengelolaan
terbitan berkala di UPT Perpustakaan ITB
Bandung, penataran tim penilai angka kredit pustakawan Tk. Nasional di Perpusnas RI Jakarta. Sedangkan gelar Magister Sains Manajemen
Perpustakaan dari Pascasarjana UGM tahun
2002.
Profesi sebagai pustakawan ditekuni
sejak tahun 1972 dan dikukuhkan sebagai pustakawan utama pada tahun 2007 di UPT
Perpustakaan UGM unit I. Pernah bekerja di perpustakaan Fak. Teknologi
Pertanian UGM (1972-Oktober 2006). Perpustakaan Akademi arsitektur YKPN
(1975-1980). Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Fakultas kehutanan UGM. Institut
Pertanian Yogyakarta (1983-2008). Pernah menjabat sebagai kepala bidang
pelayanan perpustakaan UGM (Nov 2006- Jan.2012). Kini Kepala Perpustakaan Ubiversitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain pustakawan, beliau juga pernah berprofesi sebagai guru SMP Muh.
Depok (1972-1973, dosen agama islam di
Akademi Manajemen Putra Jaya (1985-1990, dosen agama islam di Institut
Pertanian (1983-2006), dosen D3 Ilmu Perpustakaan FISIPOL UGM dan Fak. Adab UIN
SUKA (1999-), dosen program studi manajemen inf. dan perp. FISIP UGM
(1992-2005), dosen Fak. Teknologi
Pertanian UGM (2002-2011), dosen Pascasarjana Ilmu perpustakaan IIS UIN Suka
(2009-2011), dosen ilmu perpustakaan UT Surakarta dan DIY.
Di organisasi profesi, beliau pernah menjadi anggota pengurus IPI DIY (1990-1993),
anggota pengurus majelis pustaka PP Muhamadiyah (1995-2000), wakil ketua forum
perpustakaan perguruan tinggi indonesia DIY (2003-2006), anggota pengurus
lembaga pustaka dan informasi PP Muhamadiyah (2005-2010), wakil ketua lembaga
pustaka dan informasi PDM kota Yogyakarta (2005-2010), anggota pengurus majelis
pustaka& informasi PP Muhamadiyah (2011-2015), pendiri himpunan pengelola
perpustakaan sekolah muhamadiyah kota Yogyakarta, ketua forum silaturahim
perpustakaan perguruan tinggi muhamadiyah (2012-2014).
Di bidang
redaksional, pernah menjadi redaksi buletin Al Fata, Al Fikr, Agritech (Fak.
Tekn. Pertanian UGM), Media informasi (Perp. Pusat UGM), Berkala ilmu
perpustakaan dan informasi (Perpustakaan Pusat UGM), Palmisest (jur. Ilmu
perpustakaan FISIPOL UNAIR Surabaya), Mentari (PDM kota Yogyakarta, dan
reviewer unilib (Direktorat Perpustakaan UII Yogyakarta).
Aktivitas
beliau saat ini adalah Kepala Perpustakaan UMY, asesor BAN PT DIKTI Kemendikbud
RI, anggota Tim perumus standar nasional perpustakaan sekolah dan standar
nasional perguruan tinggi, anggota pengurus dewan perpustakaan DIY, anggota tim
penilai jabatan fungsional pustakawan UII Yogyakarta, pembicara dalam berbagai
seminar.
Hasil Karya
Lasa Hs mulai aktif menulis sejak remaja. Pada awalnya beliau banyak menulis dengan topik keagamaan. Seiring perjalanan waktu beliau
konsen pada empat topik penulisan yaitu
religi (agama), kepustakawanan, penulisan, dan manajemen. Sampai saat ini telah
lebih dari dua ratus artikel hasil pemikiran beliau dimuat di media cetak
Yogyakara, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, Jakarta, Riau. Beberapa
artikel tersebut antara lain peran
informasi IPTEK dalam alih informasi (Media Informasi, IV (2) Juni 1997),
Celah-celah tulisan pustakawan (Media Pustakawan, IV (3) September 1997),
Pengembangan karir dan profesi pustakawan (Buletin Perpustakaan, (2) April
1997), Dibalik angka kredit dan pengumpulannya (Wahana Informasi Perpusdokinfo,
Vol. 18, Ed. Juli 2014).
Adapun karya tulis dalam bentuk buku 45 judul, diterbitkan oleh 13 penerbit
dan masih terdapat beberapa dalam bentuk draff. Adapun judul buku hasil
pemikiran beliau antara lain Ensiklopedi Muhammadiyah (karya bersama,
Rajagrafindo, 2005), Kamus istilah perpustakaan (Kanisius, 1990, 1993, Gadjah
Mada University Press, 1998), Membina
Perpustakaan Sekolah Islam dan Madrasah (dicetak 10.000 eks. Oleh
Adicita Karya Nusa, 2004), Manajemen Perpustakaan (Ga ma Media, 2005), Petunjuk Pengelolaan Perpustakaan Masjid
(Gadjah Mada University Press, 1998), Manajemen Perpustakaan Sekolah (Pinus,
2007), Manajemen Perpustakaan Sekolah/ Madrasah (Ombak, 2013), dan yang
lainnya.
Adapun kontribusi pemikiran Lasa Hs bagi dunia kepustakawanan, antara lain:
a) Lasa Hs telah mencurahkan pemikirannya melalui tulisan yang
dapat digunakan sebagai referensi yang tentu saja bermanfaat bagi perkembangan
kepustakawanan di Indonesia, salah satu kasil karya bidang kepustakawanan
adalah Kamus Istilah Perpustakaan yang
menjadi trademark Lasa Hs.
b) Berperan serta dalam penyusunan Standar Nasional Perpustakaan
Sekolah
c) Menjadi asesor BAN PT DIKTI Kemendikbd RI.
d) Berperan dalam pengembangan pendidikan formal bidang perpustakaan di Indonesia.
Filsafat Hidup
Membaca tanpa menulis ibarat orang pincang berjalan, membaca saja tidak
cukup harus diseimbangkan dengan menulis. Menulis sama saja menuangkan ide yang didapat dari membaca. Menulis tanpa
membaca ibarat orang buta berjalan, untuk bisa menulis harus banyak membaca.
Dengan membaca akan mendapatkan banyak ide untuk menulis. Sehingga beliau ingin
menjadi orang yang “awas” dan bisa berjalan sehingga bisa bergerak cepat. Ide
kecil akan jadi apa-apa bila diperjuangkan namun ide besar tidak akan jadi
apa-apa kalau hanya disimpan di otak. Filsafat hidup tersebut beliau
pegang dan terus dijalani, dan beliau tetap eksis menjadi pustakawan progesif.
Selanjutnya, semangat beliau untuk iklas berbagi ilmu, menjadi “virus” membuat
#banggasebagaipustakawan. Ayo majulah Pustakawan Indonesia!
Demikianlah
tulisan saya pada minggu ini, semoga bermanfaat..!!


Tidak ada komentar:
Posting Komentar